Cari Blog Ini

Selasa, 20 Mei 2014

Bu, Rencong Ayah Berdarah! oleh Nina Eka Putri

Raja siang tampak sedang memanjat atap biru cerah yang memayungi salah satu gubuk tempat peraduan sederhana sebuah keluarga.
Di teras gubuk itu terlihat Bu Salamah, Pak Salam dan Ismail sedang berkumpul bercengkrama menikmati siang. Bu Salamah duduk di atas bangku panjang di sebelah kanan menghadap ke depan dekat pagar pembatas teras depan sambil menampi beras yang baru dipanennya dua hari yang lalu. Di sebelah kiri teras agak mendekati pagar pembatas terdapat Pak Salam duduk di sebuah kursi goyang tua dengan posisi menghadap ke arah Bu Salamah. Ia duduk sambil membaca koran hari ini. Sekali-sekali tangannya mencomot gorengan pisang yang berada di atas meja tepat di sebelah kirinya. Sedangkan, di sebelah meja tersebut terlentang sebuah tikar rajut yang beberapa bagiannya telah terkelupas dimakan usia. Di atasnya, Ali sedang duduk dengan posisi menghadap ke depan arah Pak Salam. Punggungnya direbahkan ke sudut dinding putih yang telah memudar itu.

“Bapak, memilih apa nanti Pak?” Bu Salamah membuka percakapan.
“Memilih apa maksud Ibu?”
Pak Salam tampak belum memahami arah pertanyaan istrinya. Namun, matanya tetap terpaku pada koran.
“Ya, itu. Tanggal 9 inikan pemilihan. Itu yang 9 hari lagi lho, Pak! Nyoblos Pak, nyoblos, Alah gimana ini Bapak.” Istrinya tampak mulai geram dengan ke-lola-an suaminya (lola: loading lama). Pak Salam menatap istrinya sekilas sambil tersenyum simpul, lalu matanya pun kembali ke koran yang sedang dibacanya.
“Oh nyoblos partai maksud Ibu.” Tangannya mencomot lagi pisang goreng. “Berapa jumlah partainya?”, lanjutnya sambil mengunyah gorengan. “Emm.. berapa, ya?” Bu Salamah berhenti sejenak menampi beras. Matanya melihat ke atas. Bola matanya bergerak ke atas, ke bawah, ke kiri, dan ke kanan seperti orang kebingungan.
Kayaknya banyak Pak. Puluhan mungkin. Entahlah.” Katanya lagi sambil mengangkat bahu. Bu Salamah pun melanjutkan menampi beras.
“Tanyakan pada pohon dan pagar yang terdiam, na na na… nana nana..” Jawab Ismail nyaring dengan meniru irama lagu Iwan Fals.
Pak Salam dan istrinya terdiam. Merasa bahwa semua mata tertuju padanya, ia pun segera memberikan senyum “nyengir kudanya” yang memperlihatkan giginya yang putih mengkilat. Bapak dan ibunya masih terbengong. Tanpa menghiraukan keduanya, Ismail mengambil gorengan yang berada di atas meja dan mengambil serta meminum kopi bapaknya yang juga berada di atas meja.

“Maksudmu apa Mail?” Tanya Pak Salam dengan nada tak mengerti.
“Iya ‘Il, maksudmu apa?” Bu Salamah pun rupanya penasaran juga dengan perkataan anaknya.
“Serius lho, Pak, Bu. Coba Tanya aja, ia pasti tau jawabannya.”
Melihat Bapak-Ibunya masih tidak percaya, ia pun melanjutkan katanya sambil menatap meyakinkan, “Serius, Pak, Bu.” Bu Salamah menghentikan kegiatannya menampi beras. “Memangnya pohon bisa ngomong? Jangan ngawur. Buat Bapak-Ibumu bingung aja.” Sahut Bu Salamah masih dengan nada tak percaya.
“Coba jelaskan kepada kami, Mail”, Bapaknya menimpali.
Dengan menarik nafas dalam-dalam kemudian menghelakannya melalui mulut, Ismail pun menjelaskannya layaknya presiden yang sedang berpidato.

 “Tenang Bapak-bapak dan Ibu-Ibu. Saya akan jelaskan kepada saudara sekalian. Jika kalian ingin mengetahui jumlah partai yang ada di Indonesia, inilah saatnya kalian menanyakan ke pohon-pohon. Semakin mendekati pemilu, pohon dan pagar telah berwajah. Kalian pasti bingung bukan dengan apa yang saya katakan? Begini, kalian pernah lihat pohon?”

Bapak-ibunya tak menjawab. Mereka tampak mengulum-ngulum senyum melihat anaknya berbicara bak pejabat tersesat. Merasa tak ada jawaban. Ismail pun melanjutkan.

“Begini, coba Bapak lihat sekitar. Pohon dan pagar telah banyak ditempelkan baik poster, slogan, maupun spanduk. Benar bukan? Masih tidak percaya? Cobalah saudara-saudara melihat ke depan.” Mail mengarahkan pandangannya ke beberapa pohon yang berada di depan rumahnya.
“Itu barang buktinya. Sayang pohon. Ia dipaku beberapa kali. Mirisnya, paku tersebut tidak diambilnya kembali. Paku terus-menerus menancap di Pohon. Jika ia bisa berbicara, ia pasti mengatakan ‘Pak, Buk, tolong, saya kesakitan’.”  Ia mempraktikkan sambil memegang perutnya seolah-olah ada paku menancap di perutnya. (bersambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar